CerBung: Cinta di Ujung Jari -chapt. 2

cinta di ujung jari chapter 2

“Kak ini ada apa?” tanyaku dengan nada terheran tanpa melihat wajah Kak Tina. Mataku masih lurus, mematung, memandang tenda pelaminan depan rumahku. Apakah Kak Tina telah dilamar orang? Mengapa tidak memberitahu saja kalau Kak Tina akan menikah? Lalu apakah Kak Tina akan melangsungkan pernikahan dengan keadaan Ibu yang sakit saat ini? Semua tanda tanya berkeliaran di kepalaku dan mataku sibuk menacari jawaban.

“Ayo, naik dulu di rumah. Ibu akan menjelaskannya.” Ajaknya Kak Tina merangkul pinggulku. Mengambil alih tas dan bolu yang dramanya terjatuh ke tanah, padahal tidak. Mengikuti langkahku di belakang, sedang aku ragu untuk melangkah. Masih belum percaya dengan keadaan ini. Aku pikir Kak Tina akan selalu bercerita apapun padaku, nyatanya seseorang telah melamarnya tapi tidak memberitahuku. Bukan aku tidak bahagia, aku hanya sedikit kecewa dan banyak terpukul dengan berita ini. Terpukul bahwa kakakku satu-satunya akan hidup bersama dengan suaminya. Ibadah terpanjang yang melonglong hidupnya dengan segala tuntutan sang suami.

Saat akan menaiki anak tangga rumah, aku dihadang oleh tanteku, saudari dari Ayahku. Sejenak aku kebingungan, sebab setelah menghadangku, tante meninggalkanku, seakan melupakan sesuatu untuk dikatakan padaku. Keanehan ini membuatku semakin ragu menemui Ibu tapi langkah kakiku malah lebih gesit dari biasanya ketika kembali ke rumah setelah kuliah terlalu panjang.

Memasuki pintu rumah aku dilemparkan beras. Aku berusaha menghindarinya. Kepalaku menoleh ke belakang. Sejak kapan Paman dari saudara Ayah ada di belakangku, lalu kemana Kak Tina? Mataku mencari keberadaanya, dan aku menemukannya di dalam rumah. Sejak kapan? Keanehan ini mengingatkanku pada sebuah buku yang ditulis Ali, seorang sastrawan dan pegiat literasi terkenal di Provinsi tempatku tinggal. Tidak hanya di kotaku beliau terkenal bahkan sampai di Negeri Australia, berkat kapal yang dibuatnya dari kayu telah berlayar hebat di lautan, menghantam ombak dengan perjalanan 2 bulan 15 hari 8 jam 3 menit 52 detik. Buku yang berisi tentang adat-adat yang berlaku di kota kami. Adat mengkhatam anak, adat membangun rumah tempat tinggal, sampai adat menikahkan anak.

Baca Juga  CerBung: Cinta di Ujung Jari- Chapt. 3

Isi buku memperlihatkan bagaimana seorang anak perempuan yang baru saja datang dari luar rumah, dengan dilemparkan beras untuk menghindari keburukan-keburukan yang akan mengganggu kelangsungan pernikahan anak. Anak perempuan yang akan menikah seharusnya telah dipingit. Artinya sebelum hari pernikahan tiba, mempelai perempuan tidak diperbolehkan meninggalkan rumah, dengan alasan mempelai tidak melakukan hal atau tidak mengalami hal yang tidak diinginkan.

Keadaan ini tiba-tiba memanjangkan dendrit otakku. Mencernannya dengan baik. Memerhatikan disekitaran rumah. Menyimak baik-baik kalimat wajah yang disampaikan keluarga dan tetanggaku. Melihat wajah ibuku yang dalam keadaan baik-baik saja di dalam rumah. Tanteku yang tadinya menghadang, tiba-tiba berada di depanku lagi. Ternyata beliau yang melemparkan beras kepadaku. Aku mengerti keadaan ini. Membalikkan badan dan mencoba menuruni anak tangga rumahku. Tapi tidak berhasil. Pamanku berhasil menangkap tubuhku, seakan tahu bahwa kelak aku akan mencoba lari bila aku mengetahui percodohan paksa ini.

Aku meronta, mencoba melepaskan tubuh dari Paman. Berteriak sekeras mungkin. Suara tetangga mengasihani aku masih bisa mendengarnya. Tangisan kakak pertamaku di dalam rumah, aku masih bisa mendengarnya juga. Ayah datang membantu paman melerai tubuhku yang meronta. Aku masih belum siap menghadapi keadaan ini. Mengapa menjebakku datang ke rumah dengan alasan bahwa Ibu sakit. Ayah dan Paman mengangkat tubuhku. Memindahkanku ke dalam rumah, dan mendudukkanku dihadapan Ibu. Aku lemas, aku lemah.

“Ibu, kenapa? Apa Ibu masih sakit? Aku meliaht Ibu baik-baik saja.” Tatapku kepada Ibu mengaharpkan iba. Menangis sekerasnya. Menjatuhkan wajahku diantara kedua pahanya. Mengangkat kepalaku lagi menatap dalam mata ibu.

“Ibu baik nak. Ibu tidak sakit, Ibu hanya merindukan perhatianmu.” Balas Ibu menahan tangis. Sedang ayahku masih siap mengawasi pergerakanku. Takut bila aku masih mencoba kabur. Paman juga sama. Kak Tina tunduk menutupi wajahnya yang sedang menangis.

Baca Juga  CerBung: Cinta di Ujung Jari

“Ibu baik-baik saja. Tapi, tidakkah Ibu kesakitan melihatku bahwa aku tidak menerima pernikahan ini? Tidakkah Ibu mengasihaniku? Ibu, aku memiliki kekasih yang juga mencintaiku.” Deras sekali ari mataku keluar, mencoba mengikis dan berharap akhirnya batu keputusan Ibu akan hancur. Namun sepertinya sia-sia. Aku menoleh kepada Ayah. Tapi ayah tidak melihatku. Ayah memandang lurus kedepan. “Ayah, kenapa?” rengekku kepada Ayah. Juga mengharap akan luluh.

“Nima, maafkan kakak.” Suara parau Kak Tina mendongakkan kepalaku. Memandang wajah dendam kepada Kak Tina. Balasan tatapan kak Tina memohon ampun.

“Mengapa Kak Tina tega membohongiku? Kak Tina yang mengajariku dengan keras untuk tidak berbohong untuk apapun yang terjadi padaku. Tapi Kak Tina justru berbohong hebat padaku. Kak Tinaaaaaa.” Teriakku kepada Kak Tina membuat Ibu memeluk tubuhku. Air mataku semakin menderas. Ayah mengusap kepalaku. Ibu semakin erat memeluk tubuhku. Kasih sayang ini, apakah memang harus kubalas dengan menerima perjodohan busuk ini? Lalu bagaimana dengan Bima? Apa yang akan aku katakan dengannya? Bagaimana aku menghadapinya? Bagaimana aku menghadapi teman-temanku yang telah mengetahui hubunganku dengan Bima yang sangat romantis? Tubuhku melemah, kepalaku pusing, dan tiba-tiba menghitam. Aku pingsan.

Aku berbaring di dalam kamarku. Sepertinya bukan kamarku. Terlalu banyak hiasan pernikahan. Ini bukan kamarku. Tapi kenapa ada foto dan rak bukuku? Hiasan kamar pernikahan? Batinku lagi-lagi tidak berhenti menerima. Aku duduk dan kembali mengingat. Perjodohan paksa telah dihadapanku. Aku memeluk lututku. Mengingat semua kenangan bersama teman-teman kampus. Masihkah sama bila aku sudah menikah? Wajah Bima muncul saat pertama kali dia mengatakan cinta padaku. Menerimanya setelah mengalami lima kali penolakan. Akupun menerima dengan alasan mencoba ketulusannya. Dan sekarang aku malah menyia-nyiakan ketulusan yang benar-benar dia siapkan untukku.

Biipp biiippp bippp bipppp bippp ~~~~

Kekasihku —————————

~~Bersambung~~

Tinggalkan Komentar

Scroll to Top
Open chat
Hallo, Kami siap membantu masalah Anda.