Bip bip bip bip bippp ~~~~
Kekasihku Bima
Tertlihat di layar handphoneku. Badanku bekeringat sekujur tubuh. Segala alasan kurancang sebaik mungkin. Jujur atau tidak, batinku. Memberi kesempatan untuk otak berpikir, dengan alasan terbaik. Aku berusaha menyusun kalimat untuk menyampaikannya dengan baik dan benar. Menyampaikan sejujur-jujurnya tanpa membuatnya marah. Aku berharap Bima mengerti dengan keadaanku. Memberiku maaf dan kesempatan untuk tetap menjadi temannya kelak.
Bip bipp biip biipp ~~~~
Dering handphoneku berbunyi sekali lagi. Aku masih ragu menjawabnya. Ok Nima berikan jawaban sebaik mungkin, dan tidak melukai hatinya. Sekarang!
“Halo, ……” Jawabku memastikan Bima tidak cepat mematikan teleponnya segera.
“Halo, selamat siang. Kami dari kepolisian.” Kepolisian? Ada apa ini? “Kami melihat riwayat panggilan pemilik handphone, terakhir berkomunikasi dengan Adek, pacarnya. Yah, pacar Adek, Bima, sekarang berada di rumah sakit setelah mengalami tabrakan lari. Adek, tidak usah khawatir karena menurut pemeriksaan dokter saat ini, korban hanya mengalami luka ringan dibagian lutut. Adek, halo adek” aku hanya menyimak baik-baik semua perkataan Pak Polisi. Aku menangis sejadi-jadinya. Suara tangisku didengar semua keluargaku. Terkaget dan segera menuju kamarku. Aku ditenangkan oleh Ibuku.
“Sudahlah nak, maafkan Ibu. Kamu harus menerima perjodohan ini. Demi kebaikanmu sendiri nak, demi masa depanmu.” Tenang Ibuku menjelaskan seakan aku berteriak menangisi perjodohan ini. Padahal aku sudah pasrah dengan perjodohan ini. Tanpa diketahui Ibu apa yang membuatku menangis.
“Nima, maafkan Kakak.” Kak Tina turut menenangkanku. Duduk didepanku dan melihat handphone milikku masih berada dalam telponan. Kak Tina segera mengambil handphoneku. Aku pasrah. “Halo, Bima.” Serembat Kak Tina, yang mengira aku sedang bicara dengan Bima.
“Halo, maaf kami dari Kepolisian Adek. Mohon adek tenang, dan segera mengabari orang tua Bima tentang keadaannya saat ini. Pacarnya Adek berada di ruang UGD saat ini. Untuk selanjutnya kami akan tetap menyelidiki kasus ini. Terima kasih adek.” Tutup Pak Polisi yang memintaku segera menghubungi orang tua Bima. Bagaimana bisa. Ibu pasti tidak mengizinkanku dengan hal itu, terlebih ayah.
“Siapa nama Ibunya Bima dikontakmu dek?” Tanya Kak Tina tanpa meminta persetujuan dariku maupun Ibu untuk segera mengabari orang tua Bima. Aku terdiam, memandang wajah Ibu untuk memastikan kesetujuan Ibu. Ibu tidak membei respon. Ibu tetap merangkulku tanpa melihat wajahku maupun wajah Kak Tina.
“Ibu.” Rengekku kepada Ibu. “Ini yang terakhir kali Ibu, Bima sedang di rumah sakit. Bimabutuh perawatan lebih. Luka dilututnya harus diobati sesegera mungkin. Ibu.” Aku menatap lama wajah Ibu. Melihat keriput wajahnya, ternyata tidak muda lagi. Rambut putih Ibu masih terlihat dari helai-helai rambut yang keluar dari songkok aji yang
digunakannya. Rasanya aku menyesal memintanya, tapi bagaimanapun rasa kemanusiaanku dan cintaku masih besar. “Indri, itu nama adeknya. Telpon saja adeknya. Jangan membuat Ibunya kaget dengan kabar mendadak ini.” Nekatku memberi jawaban kepada Kak Tina tanpa mempertimbangkan jawaban Ibu lagi.
Kak Tina akhirnya menelpon Indri, adek Bima satu-satunya. Terdengar suara tidak percaya dari seberang sana. Memastikan bahwa kabar itu benar. Indri berinisiatif menelponn temannya yang bertugas di rumah sakit untuk memastikan bahwa kakak semata wayangnya sedang dirawat. Telepon tiba-tiba mati. Tanpa salam tanpa menanyakan keberadaanku. Kak Tina memandang wajahku. Mata kami bertemu. Mata Kak Tina seakan berkata sabarlah, percayakan segalanya kepada Tuhan. Aku menundukkan kepala menangis sejadi-jadinya. Ibu?
Ibu meninggalkan kami berdua. Sebelum keluar dari kamarku, Ibu mengusap kepalaku dan Kak Tina. Ternyata di balik pintu kamarku, ayah sedang menjawa kami. Memastikan keadaan. Tanpa masuk ke dalam kamarku, hanya melihat keadaan kami. Ayah berlalu. Meninggalkan aku dan Kak Tina di dalam kamar.
“Kak, mengapa aku? Kakak tahu aku punya Bima. Mengapa kakak tidak menawarkan diri yang menjadi pasangan lelaki itu? Aku juga tidak mengetahui siapa yang akan menjadi suamiku.” Ucapku dalam tundukan kepala memeluk lutut. Menatap layar handphone androidku. Ada wajahku dan Bima tertawa bersama di hari ulang tahunnya 2 bulan yang lalu.
“Kakak sudah berusaha menawarkan diri Nima. Tapi yang diinginkan lelaki itu kamu. Bukan kakak. Maafkan Kakak.” Sendu sekali terdengar suara Ka Tina. Dendamku bisa terhapus begitu saja setelah mendengar suaranya.
Hari Ijab Kabul
Ananda Abdul Firman Makkarumpa bin Abdul Makkarumpa saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan Nirmala Buyung binti Buyung Sodding dengan maskawinnya berupa satu stel emas dan tanah 5 kapling, tunai.
Saya terima nikahnya dan kawinnya Nirmala binti Buyung Sodding dengan maskawinnya yang tersebut dibayar tunai.
Sahh.