CerBung: Cinta di Ujung Jari

cinta di ujung jari chapter 1

“Pulang dulu lah adek, Ibu sedang sakit sekarang!” sangat tergesa-gesa kakak pertamaku menyampaikan kabar tentang Ibu. Aku mengalami posisi sulit, sebab minggu depan sudah masuk jadwal ujian akhir semester, fokus belajarku akan terbagi, tapi ibu sedang sakit. Ah tidak ada perbandingan dengan orang tua, aku harus pulang, batinku.

Kampung halamanku tidak jauh. Tidak jauh dari gunung. Tepat berada di bawah kaki gunung. Perjalanan dari pusat kota membutuhkan waktu 3 jam, dan dari pusat kota kelahiranku membutuhkan waktu 1 jam perjalanan untuk bisa sampai di kontrakanku dekat kampus.

Aku mahasiswi semeter 6. Akhir bulan ini akan memasuki masa ujian akhir semester dan sebentar lagi akan Kuliah Kerja Nyata. Tapi teman-temanku sering menyesetkannya, Keliling-Keliling Nyantai. Kuliah di Universitas Swasta daerah yang sangat terkenal, dengan segala pembayaran yang tidak ada kuitansinya. Hampir setiap semester menyetorkan uang pangkal, dengan alasan perbaikan gedung. Tapi sejak jadi Mahasiswi baru hingga akan masuk semester 7 belum ada perubahan yang terjadi. Yang terenovasi hanya pagar tanaman, itu pun hanya dipolesi sedikit cat warna warni, kayak anak teka saja. Sedang ruang gedung kuliah masih dengan kursi kayu yang bahkan ada banyak yang tidak memiliki sandaran. Kan kasihan para jomblo.

Pagi sebelum berangkat ke kampus kakak pertamaku, Kak Tina menelpon. Memberi kabar bahwa Ibu sedang sakit. Pikirku Ibu tidak pernah mengeluhkan sakitnya, selalu hebat menyembunyikannya. Baru kali ini aku mendapati Ibu sakit. Atau Ibu sakit parah? Batinku makin liar di dalam mobil angkutan umum menuju pusat kota kelahiranku.

Bip bipp bip bippp~~~~

“Kamu dimana sayang? Aku tadi ke kontrakan kamu tapi temanmu bilang, kamu pulang kampung? Kok nggak ngabarin sih?” terdengar suara cemas dari seberang sana, suara pacarku, Bima.

Baca Juga  CerBung: Cinta di Ujung Jari -chapt. 2

“Maafin aku. Buru-buru banget, Ibu sedang sakit jadi harus pulang.” Balasku sedikit ragu. Takut kalau Bima akan menyusulku ke rumah. Bukan karena tidak ingin mengenalkannya dengan keluargaku, hanya saja belum waktunya. Aku sudah berencana akan mengenalkannya dengan orang tuaku setelah kami sama-sama yudisium. Walau aku sudah diperkenalkan dengan orang tuanya. Terlebih pada adiknya. Aku sungguh merasa malu, sebab adiknya sudah sangat akrab denganku dan bahkan memanggilku kakak ipar.

“Ok, hati-hati yah sayang! Telpon aku kalau sudah sampai. Jangan tidur! Supir angkot sering buang cewek cantik di sungai. Haha.” Tawanya menggelegar setelah menggoda dan menakutiku sekaligus. “Ya sudah, aku tutup yah sayang,
assalamualaikum calon ibu dari anak-anakku.”

“Waalaikumussalam, calon ayah yang memasangkan tali sepatu pada anak perempuanku yang akan menggantikan posisi ku di hatinya.” Cobaku menggodanya balik.

“Buset panjang amat, hahaha. Ya sudah, bye.” Ditutupnya telepon, membuatku tiba-tiba rindu hebat dengannya. Lelaki yang ku kenal saat masa ospek di kampus. Kami sama-sama terlambat saat hari penerimaan Mahasiswa baru. Kemeja putih yang tidak tersetrika, kepala botak, sepatu sneakers yang kucel, dan celana hitam yang robek. Celana yang robek tepat dibagian kelaminnya. Memalukan. Tapi berkat robeknya celana itu dia tidak mengikuti serangkaian kegiatan ospek yang mengharuskan bergerak bebas. Licik juga dia ternyata, atau cerdik, sebutlah saja seperti itu.

Mobil angkutan umum yang kutumpangi telah sampai diterminal, tepatnya pasar terminal namanya. Orang-orang disekitar menyebutnya seperti itu. Bukan tanpa alasan, tapi memang tempat ini adalah terminal sekaligus pasar. Kulanjutkan mencari pangakalan ojek. Menawar harga sewa hingga sampai di pos ojek
selanjutnya. Dikatakan pos ojek selanjunya karena ini masih kategori ojek, tapi menggunakan sepeda motor trail yang mampu menanjak jalan berlumpur ataupun berbatu. Kembali harus melakukan tawar menawar harga ojek. Transaksi tawar menawar sering terjadi di sini, belum lagi bila ada ibu-ibu yang membawa  anaknya dari kampung Kaki Gunung untuk memperkenalkan mereka seperti apa wujud pasar itu. Selalu ramai dan hanya sekedar barter barang tanpa menanyakan kabar. Ibu yang duduk dibelakang Daeng Ojek, sedang anaknya duduk di depan Daeng Ojek. Ribet memang, dan membayar dengan harga ibunya saja.

Baca Juga  CerBung: Cinta di Ujung Jari- Chapt. 3

Tibalah aku di rumah, yang hanya membawa tas ransel berisikan laptop, beberapa pasang baju dan pakaian dalam, dan kue bolu yang cuman ada dijual di dekat kampus saja. Mataku membelalak. Mulut menganga. Untuk lebih dramatis kue bolu yang terjatuh ke tanah, dan hujan turun. Tiba-tiba badanku terpatung. Bisu. Lumpuh seketika. Langkah kaki Kak Tina menuruni anak tangga rumah, menuju ke arahku, menjeputku.

“Kak ini ada apa?” tanyaku dengan nada terheran tanpa melihat wajah Kak Tina. Mataku masih lurus mematung memandang ———-

~~Bersambung~~

Scroll to Top
Open chat
Hallo, Kami siap membantu masalah Anda.